Minggu, 25 September 2016

Penyandaran Kebaikan Dan Kejelekan Pada Allah Ta'ala


Ahlus Sunnah bersaksi dan berkeyakinan bahwa kebaikan dan kejelekan, manfa'at dan mudzarat (kejadian yang manis maupun yang pahit) semuanya dari takdir dan ketentuan Allah ta'ala, tidak ada yang mampu mencegahnya, penyimpangkannya atau menjauhkannya. Seseorang tidak akan tertimpa suatu musibah melainkan apa yang telah ditakdirkan. Meskipun seluruh makhluk berusaha keras untuk menolong orang tersebut, akan tetapi Allah menakdirkan untuk tertimpa musibah maka usaha tersebut tidak berhasil.
Demikian juga meskipun seluruh makhluk berusaha untuk mencelakakan dirinya akan tetapi orang tersebut tidak ditakdirkan celaka, maka usaha tersebut tidak akan berhasil, hal ini sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas radiallahu'anhu.

Allah berfirman: "Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya.." (QS. Yunus : 107).

Termasuk dari pemahaman dan manhaj Ahlus Sunnah (selain keyakinan mereka bahwa kebaikan dan kejelekan semuanya dari takdir Allah) mereka juga menetapkan bahwa tidak diperkenankan menyadarkan kepada Allah apa-apa yang berkesan negatif bila diucapkan secara terpisah. Tidak boleh dikatakan, misalnya: Allah itu pencipta monyet, babi, kumbang kelapa dan jangkrik, meskipun kita tahu tidak ada makhluk yang tidak diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini terdapat hadits tentang do'a istiftah:

"Sungguh Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau ya Allah, kebaikan seluruhnya di kedua tangan-Mu dan kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu"(HR. Ahmad, Muslim dan lainnya).

Maksudnya, wallahu a'lam, kejelekan tidak termasuk yang bisa disandarkan kepada Allah secara terpisah, seperti: "Wahai Pencipta keburukan, atau wahai yang menakdirkan kejelekan". Meskipun benar bahwasanya Dialah yang menciptkan dan menakdirkan kejelekan tersebut. Oleh karena itu Nabi Khidir 'alaihissalam menyandarkan kehendak untuk merusak perahu kepada dirinya sendiri, seperti dikisahkan dalam Al-Qur'an:

"Adapun kapal itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku hendak merusakkan kapal itu, karena dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap kapal." (QS. Al-Kahfi : 79).

Namun ketika beliau menyebutkan kebaikan, kebajikan, dan rahmat, beliau menyandarkan kehendaknya kepada Allah, Allah ta'ala berfirman:"..maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.." (QS. Al-Kahfi : 82).

Allah juga memberitakan tentang diri Ibrahim 'alaihissalam dalam firman-Nya: "dan apabila aku sakit. Dialah yang menyembuhkan aku" (QS. Asy-Syu'ara : 80).

Beliau menyandarkan sakit kepada dirinya sendiri dan menyandarkan kesembuhan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Meskipun keduanya datangnya dari Allah Yang Maha Mulia.

Sumber : AQIDAH SALAF ASHHABUL HADITS Abu Isma'il Ash-Shabuni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar