Membaca kisah perjalanan hidup para Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum terasa seperti menyelam di telaga biru yang jernih nan sejuk. Cerita penuh hikmah mereka begitu dalam menginspirasi jiwa-jiwa yang dahaga suri tauladan. Salah satu telaga biru yang perlu diselami itu adalah Umar bin Khattab. Seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah, bahwa suatu hari Rasulullah ‘alahis sholatu wassalam pernah bersabda, “Ambillah teladan dari dua orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar” (HR.Imam Ahmad).
Ia adalah Abu Hafshah ‘Umar bin Al-Khattab Al-‘Adawi Al-Qurasyi. Satu-satunya sahabat yang berani hijrah ke Madinah secara terang-terangan itu, digelari Al-Faruq oleh Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam. Dengan sangat lugas ia pilah kebenaran dan kebathilan. Ia selalu berdiri tegak di sisi Al-Qur’an. Tegas menerapkan hukum-hukumnya, tidak sudi untuk selangkah di belakangnya atau selangkah di depannya. Bukan saja orang-orang kafir yang ketakutan tiap berhadapan dengannya, bahkan syetan pun lari terbirit-birit jika berpapasan di jalan.
Tentang Umar, Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar." (HR Turmudzi). Pernyataan Rasulullah tersebut didasari karena beberapa pendapat Umar bin Khaththab yang sejalan dengan kehendak dalam Al-Qur'an, antara lain sebagai berikut.
Yang pertama, saat Umar usul kepada Rasulullah ’alaihis sholatu wassalam, “Wahai Rasululullah, andai kita jadikan sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat sholat?”. Maka turunlah surat Al-Baqarah ayat 125, “Dan ketika Kami jadikan Baitullah tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat”.
Yang kedua tentang syari’at hijab. Ketika Umar merasa risih melihat para istri Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam yang kadang harus bertemu dengan berbagai jenis manusia, yang baik maupun yang buruk. Maka Umar mengusulkan agar para Ummahatul Mu’minin menggunakan hijab agar lebih terjaga. Lalu turunlah ayat tentang hijab yang menyetujui pendapat Umar itu.
Yang ketiga, waktu Hafshah dan Aisyah sedang cemburu berat karena madu yang sering dihadiahkan oleh Mariyah Qibthiyah, sampai Rasulullah harus mengharamkan atas dirinya madu. Maka Umar mengatakan kepada Hafshah putrinya, “Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Rabb-nya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu”. Maka turunlah surat At-Tahrim ayat 5, dengan redaksi kata yang mirip.
Yang keempat, tentang pengharaman khamr (minuman keras). Tatkala Umar berdoa kepada Allah, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamr dengan penjelasan yang memuaskan”. Maka turunlah ayat yang mengharamkan khamr dan penjelasan mengenai madharat yang diakibatnya dalam surat Al-Baqarah ayat 219.
Kelima, tentang larangan mensholatkan jenazah orang munafik. Saat Rasulullah ’alaihis sholatu wassalam diminta untuk mensholatkan jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong munafiqun di Madinah. Maka Umar bertanya kepada Rasulullah, “Apakah kita mensholatkan musuh Alloh, wahai Rasulullah?”. Lalu turunlah surat At-Taubah ayat 84, yang melarang kaum Muslimin untuk mensholatkan jenazah orang-orang munafik.
Keenam, saat suatu ketika putra Umar masuk ke kamarnya, sedangkan Umar masih tertidur. Kemudian Umar terbangun dan merasa tidak nyaman dengan hal itu, maka ia berdoa, “Semoga Alloh mengharamkan ia masuk”. Lalu turunlah ayat isti’dzan dalam surat An-Nuur ayat 58, yang mengatur waktu dimana seorang budak atau seorang anak harus minta izin terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar orang tuanya.
Ketujuh, tentang perang Badar. Tatkala Rasulullah ’alaihis sholatu wassalam mengadakan syuraa dan meminta pendapat para sahabat sebelum perang Badar. Maka Umar mengusulkan agar pasukan Muslimin keluar menyongsong kuffar Quraisy di lembah Badar. Rasulullah pun sepakat dan turunlah surat Al-Anfal ayat 5 yang meng-iyakan hal itu.
Serta masih banyak lagi pendapat 'Umar yang mendapatkan persetujuan dari Al-Qur’an. Maka tidaklah berlebihan jika Rasulullah berkata bahwa jika seandainya setelahku ada nabi maka 'Umar lah orangnya.