Kadang ketika shalat, saya melihat orang yang mendahului gerakan imam, baik itu saat ruku', i'tidal, sujud, maupun ketika bangkit dari sujud. Melihat hal ini, saya jadi teringat akan sebuah kisah nyata tentang seorang Syaikh yang meremehkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang ancaman bagi orang yang mendahului gerakan imam dalam shalatnya.
Dikisahkan bahwa dahulu ada seorang Syaikh ahli hadits yang mengajarkan hadits-hadits di daerah Dimasyq. Dan Syaikh tersebut memiliki murid yang cukup banyak. Setiap kali Syaikh tersebut menyampaikan ilmu maka Syaikh membuat tabir atau penutup wajah antara dirinya dengan para murid sehingga selama mereka belajar di sana tidak pernah sekali pun mereka melihat wajah gurunya. Rasa penasaran para murid pun semakin menjadi, hingga salah seorang diantara mereka yang merupakan murid yang paling semangat dalam menuntut ilmu dan paling cerdas membuntuti Syaikh hingga sampai dirumahnya.
Baca juga : Kenikmatan Yang Akan Diperoleh Para Penghuni Surga Bag 1
Akhirnya, Syaikh pun mengetahui hal tersebut dan kemudian Syaikh bertanya kepada muridnya itu tentang maksud dan tujuannya melakukan hal tersebut.“Ya, Syaikh! Engkau adalah guru kami dan kami sangat menghormatimu. Kami telah belajar kepadamu beberapa lama akan tetapi kami tidak pernah sekali pun melihat wajahmu, engkau selalu menutupnya dari kami. Oleh karena itu, kami penasaran akan hal itu maka ijinkanlah kami untuk melihat wajahmu agar kami dapat mengenalimu jika bertemu dijalan sehingga kami dapat melakukan penghormatan kepadamu selayaknya penghormatan seorang murid kepada gurunya!”, Ucap Sang Murid berusaha menerangkan kepada Syaikh.
“Wahai, anakku! Sungguh, aku menutup wajahku dari kalian karena buruknya rupaku, tak pantas aku memperlihatkannya kepada kalian sedangkan kalian waktu itu dalam jumlah yang banyak. Namun, sekarang aku akan membuka tabir antara aku denganmu!”, jawab Syaikh sambil membuka penutup wajahnya. Ketika tabir itu tersingkap, betapa terkejutnya Sang Murid melihat wajah gurunya. Ia tak percaya dengan apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tertegun beberapa lama karenanya. Dari rona wajahnya tersirat rasa kaget, penasaran, dan juga pilu. Ia tak percaya, ia melihat wajah gurunya serupa dengan wajah seekor keledai, ya...seekor keledai. Melihat gelagat Sang Murid, Syaikh kemudian menjelaskan perihal mengapa hal itu bisa menimpa dirinya,
“Wahai, anakku! Aku dahulu adalah seorang yang meremehkan dan menghinakan sebuah hadits shohih, yaitu hadits yang berbunyi :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ أَوْ أَلَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ
رَأْسَ حِمَارٍ أَوْ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ
Artinya : Bersabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam : “Tidakkah salah seorang dari kamu takut atau hendaklah salah seorang dari kamu takut apabila mengangkat kepalanya mendahului imam bahwa Alloh akan mengubah kepalanya seperti kepala keledai (Himar) atau mengubah rupanya menjadi rupa keledai (Himar).” [HR. Bukhori (No.650) & Muslim (No.647)]
Hadits ini telah aku campakkan dengan mengatakan, “Hadits ini bohong! Tidak mungkin hanya karena mendahului imam maka kepalanya atau wajahnya akan diubah seperti kepala atau wajah keledai. Aku tidak percaya dengan hadits ini, Aku akan buktikan bahwa hadits ini bohong!”. Setelah berkata seperti itu, aku pun langsung mengamalkan apa yang aku ucapkan tersebut, aku sholat dibelakang imam dengan cara mendahului hampir seluruh gerakkannya. Seusai sholat, aku pun pulang ke rumah dan aku mendapati keluargaku berteriak histeris ketakutan melihatku, seolah-olah mereka telah melihat hal yang menyeramkan pada diriku. Saat itulah, aku tersadar bahwa wajahku telah berubah wujud menjadi wajah seekor keledai dan mulai saat itu pulalah aku bertobat dari perkataan dan perbuatanku tersebut. Oleh karena itu, hati-hatilah wahai anakku! Jangan sampai engkau mendahului imam...”
Sumber Kisah : Al Qoulul Mufid fi Adillatit Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobiy menukil dari Al-Qoulul Mubin fi Akhthoo’il Mushollin, hal 252.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar